Assassins dan Perang Salib

 Dalam Syi’ah, perpecahan terjadi diantara para ekstrimis dan moderat setelah wafatnya Ja’far Shadiq pada 765, imam yang keenam setelah Ali. Pada waktu itu, anak yang tertua Ja’far adalah Ismail. Karena alasan-alasan yang belum jelas, dan barangkali karena kerja samanya dengan elemen-elemen ekstrimis, Ismail tidak dianggap sebagai pewaris keimaman, dan sebagian besar orang Syiah menjadikan adiknya yakni Musa al-Kazim sebagai Imam ketujuh. Garis keturunan Musa bersambung hingga imam kedua belas yang menghilang pada 873, beliau tetap menjadi imam ‘yang dinantikan’ atau imam Mahdi, bagi sebagian besar orang-orang Syi’ah saat ini.

Para pengikut keduabelas imam tersebut terkenal dengan nama Itsna Asyariyah atau Twelver Syiah yang merupakan sekte yang paling moderat di antara sekte yang lain.


Perbedaan mereka dari Sunni hanya sebatas pada pokok-pokok ajaran tertentu saja yang pada tahun-tahun terakhir menjadi tidak signifikan lagi. Sejak abad XVI sekte Syiah Itsna syariyah menjadi anutan resmi penduduk Iran (Bernard Lewis, 1967: 26. Kelompok yang lain mengikuti Ismail dan keturunannya, dan dikenal sebagai Ismailiyah.

Untuk sekian lama bekerja secara diam-diam, dan mendirikan sebuah sekte yang terorganisir dengan baik dan memiliki daya tarik intelektual maupun emosional yang jauh melampaui saingan-saingannya.

Untuk mengganti semrawutnya dugaan-dugaan dan takhayul primitif dalam sekte-sekte Ismailiyah yang terdahulu, sejumlah teolog terkemuka membangun sebuah sistim doktrin religius yang mengandung filsafat tingkat tinggi dan mengarang berbagai karya yang, setelah beberapa abad kemudian masih diakui kehebatannya.

Bagi orang-orang saleh, sekte Ismailiyah sebenarnya juga menghormati al-Qur’an, hadits, dan Syari’ah sama halnya dengan yang dilakukan oleh orang-orang Sunni. Dalam masalah intelektual, mereka memberikan penjelasan-penjelasan filosofis mengenai alam semesta, dengan merujuk pada sumber-sumber kuno khususnya ide-ide platonik. Dalam masalah spiritual membawa kehangatan, kepercayaan emosional dan personal yang disokong oleh contoh penderitaan para imam dan pengorbanan para pengikutnya —pengalaman tentang gairah dan pencapaian kebenaran.

Kepada orang-orang yang tidak puas terhadap penguasa, mereka menawarkan daya tarik sebuah gerakan oposisi yang kuat, tersebar luas, dan terorganisir dengan baik, yang tampaknya mampu menawarkan kemungkinan untuk menggulingkan penguasa yang ada, dan membangun sebuah tatanan masyarakat baru yang adil, dipimpin oleh Imam –pewaris nabi yang dipilih oleh Tuhan dan satu-satunya pemimpin yang paling tepat untuk seluruh manusia.


Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa pada masa sepeninggal al-Mustansir (1035-1094M), gerakan Ismailiyah mengalami perpecahan serius dengan adanya dua kelompok yang berada di belakang kedua putra Al-Mustansir yakni Nizar dan Al-Musta’li. Kelompok Nizar cendrung ekstrem dan aktif, basis gerakannya di Suriah dan Persia.

Kelompok Nizar inilah yang menjadi cikal bakal dari kelompok Hasyasyin yang menentang kepemimpinan Fatimiyyah, bahkan Nizar mem proklamirkan dirinya sebagai khalifah yang syah dengan gelar Al-Musthafa li Din Allah (Ajid Thahir, 2004: 121-122).

Kelompok Nizariyah dapat ditumpas kekuatannya oleh Khalifah Al-Musta’li. Sedangkan Kelompok Al-Musta’li lebih moderat, mereka adalah leluhur dari kelompok spiritual Ismailiyah Bohra di Bombay India (Bosworth, 1993: 73). Sejarah Assassins Assassins atau hasyasyin, begitulah sebutannya. Kata inilah yang kemudian populer saat terjadinya perang Salib, dan di Barat kata ini dibawa oleh Marco Polo, serta dipopulerkan oleh Edward Burman (1987) dan Bernard Lewis. Dalam sejarahnya, hasyasyin merupakan satu kelompok sempalan dari sekte Syiah Ismailiyyah. Hitti dalam bukunya tidak menyebutkan kata assassins, tetapi hasyasyin. Gerakan ini merupakan gerakan sempalan dari ajaran Ismailiyyah yang berkembang pada dinasti Fathimiyyah, Mesir. Hassan Sabbah (w. 1124) adalah pendirinya dan para anggota hasyasyin menyebut gerakan mereka sebagai da’wah jadidah (ajaran baru). Menurut Hitti, Hassan Sabbah mengaku sebagai keturunan raja-raja Himyar di Arab Selatan. Menurutnya motif gerakan ini murni memuaskan ambisi pribadi, dan dari sisi keagamaan sebagai alat untuk balas dendam (Philip K. Hitti, 2010: 565). Hassan Sabbah dilahirkan di kota Qumm, salah satu pusat perkampungan Arab di Persia dan benteng orang-orang Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya, seorang pengikut Syiah Itsna Asyariyah, datang dari Kufah, Iraq, dan dikatakan sebagai orang asli Yaman. Tanggal kelahiran Hasan tidak ketahui, namun barangkali sekitar pertengahan abad XI. Ketika dia masih kecil, ayahnya pindah ke Rayy –kota modern di dekat Tehran, di sana Hasan mendapatkan pendidikan agamanya. Rayy merupakan pusat aktivitas para dai semenjak abad IX dan tak lama kemudian Hasan mulai terpengaruh oleh mereka (Philip K. Hitti, 2010: 565). Alamut merupakan basis pertahanan dari hasyasyin. Benteng ini dibangun di atas punggung bukit di puncak sebuah gunung batu yang tinggi pada jantung pegunungan Elburz, serta mempunyai sebuah lembah yang tertutup dan kuat, yang panjangnya sekitar 30 mil, dan luasnya 3 mil. Tinggi gunung tersebut sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut, dan hanya bisa dicapai melalui sebuah jalan sempit, curam dan berliku. Untuk mendekati batu tersebut orang harus melalui jurang sempit di sungai Alamut, yang terletak diantara jurang tegak lurus dan kadang menggantung. Istana tersebut dikatakan telah dibangun oleh salah seorang raja Daylam. Ketika dia sedang keluar untuk berburu dia kehilangan burung Elang piarannya yang ternyata hinggap di gunung batu tersebut. Raja melihat nilai strategis posisi gunung batu tersebut dan saat itu pula dia membangun sebuah istana di atasnya. Dia memberi nama istana tersebut Aluh Amut yang dalam bahasa orang-orang Daylam berarti ajaran burung Elang. Alamut, sebagai benteng pertahanan yang dimiliki oleh hasyasyin dipandang mempunyai peranan penting dalam melakukan serangan-serangan mendadak ke berbagai arah yang mengejutkan benteng-benteng pertahanan lawan. Dalam berbagai upayanya untuk mencapai tujuan, mereka menggunakan pisau-pisau belati yang indah, yang menjadikan pembunuhan sebagai seni. Organisasi rahasia mereka, yang didasarkan atas ajaran Ismailiyyah, mengembangkan agnostisisme yang bertujuan untuk mengantisipasi anggota baru dari kekangan ajaran, mengajari mereka konsep keberlebihan para nabi dan menganjurkan mereka agar tidak mempercayai apa pun serta bersikap berani untuk menghadapi apa pun. Di bawah mahaguru ada tingkatan guru senior yang masing-masing bertanggung jawab atas setiap daerahnya. Di bawahnya, ada dai-dai biasa, sedangkan tingkatan yang paling rendah adalah para fida’i yang selalu siap sedia melaksanakan setiap perintah sang Mahaguru (syekh, the elder, orang tua) (Philip K. Hitti, 2010: 565). Hasyasyin juga cukup dikenal di dunia Barat. Persentuhannya dengan Barat, menurut Lewis, dimulai ketika belati mereka tertancap pada Conrad of Montferrat, raja kerajaan Latin Yerusalem. Pembunuhan tersebut, menurut Lewis, menimbulkan kesan yang mendalam pada para pasukan perang salib, dan mayoritas kronikus perang salib III mempunyai pengungkapan sesuatu mengenai sekte yang menakutkan tersebut, dan keyakinan serta cara-caranya yang aneh, serta pemimpin mereka yang mengagumkan. Dia memikat mereka juga dengan cara yang aneh, seperti memberi harapan-harapan, janji-janji kesenangan dan kebahagiaan abadi, yang membuat mereka lebih memilih mati untuk mendapatkannya. Bahkan banyak diantara mereka yang akan terjun dari dinding yang tinggi yang akan menghancurkan kepala mereka dan membuat mereka mati dengan cara yang amat mengerikan, hanya dengan aba-aba anggukan kepala atau perintahnya. Ketika beberapa diantara mereka lebih memilih mati dengan cara ini —membunuh seseorang dengan keahliannya dan kemudian mereka akan membunuh diri mereka hingga sekarat dalam keberkatan—, sang mahaguru memberikan mereka belati yang disiapkan secara khusus untuk prosesi ini, dan kemudian dia memberi semacam obat yang dapat membuat mereka mabuk serta lupa, kemudian mereka ditunjukkan, dengan magisnya, pada mimpi-mimpi yang fantastis, penuh kesenangan, atau semacam itu. Tidak hanya berhenti di situ saja, sang mahaguru menjanjikan bahwa mereka akan menikmati kebahagiaan seperti itu selamanya sebagai balasan perbuatan yang telah mereka lakukan” (Bernard Lewis, 1967: 4). Menurut Lewis, bagi para korbannya, para hasyasyin adalah orang-orang kriminal fanatik yang bergerak dalam konspirasi pembunuhan melawan agama dan masyarakat. Bagi para pengikut Ismailiyah, mereka adalah korps elit yang berperang melawan musuh-musuh imam; dengan menjatuhkan para penindas dan perebut kekuasaan, mereka memberikan bukti nyata akan kepercayaan dan loyalitas mereka, serta segera memperoleh kebahagiaan yang abadi. Orang-orang Ismailiyah sendiri menggunakan istilah fidai —yang secara kasar berarti pengikut setia— untuk menyebut pasukan pembunuh mereka, dan sebuah syair Ismailiyah yang indah memuji keberanian dan kesetiaan total mereka. Dalam sebuah kronik lokal Ismailiyah di Alamut, yang ceritakan oleh Rashid ad-Din dan Kashani, ada sebuah daftar pujian untuk pembunuhan-pembunuhan, yang juga menyertakan nama-nama korban beserta para pembunuhnya ((Bernard Lewis, 1967: 48). Dari segi bentuk, orang-orang Ismailiyah merupakan sebuah masyarakat rahasia, yang mempunyai sistem sumpah, inisiasi serta tingkatan-tingkatan pangkat dan pengetahuan. Rahasia-rahasia mereka terjaga dengan baik, dan informasi mengenai mereka terpisah-pisah serta membingungkan. Orang-orang ortodoks yang suka berpolemik melukiskan orang-orang Ismailiyah sebagai gerombolan orang-orang nihilis palsu yang menipu korban-korbannya melalui tahapan-tahapan penistaan yang terus menerus, dan pada akhirnya memperlihatkan hal-hal yang amat buruk kepada orang-orang yang tidak mempercayai mereka. Para penulis Ismailiyah melihat sekte ini sebagai penjaga misteri yang suci yang hanya bisa dicapai setelah melalui rangkaian panjang persiapan serta proses. Istilah yang umum dipergunakan untuk organisasi sekte ini adalah da’wa (dalam bahasa Persianya Da’vat), yang berarti missi atau ajaran; agen-agennya adalah para dai atau missionaris —secara literal berarti penyeru atau pengajak— yang merupakan suatu jabatan kependetaan melalui pengangkatan. Dalam laporan-laporan Ismailiyah belakangan mereka dibagi keberbagai macam tingkatan dai, guru, murid –tingkatan rendah atau tinggi-, sedangkan di bawah mereka adalah mustajib —secara literal berarti simpatisan atau responden, yang merupakan murid yang paling rendah— tingkatan yang paling tinggi adalah hujjah (dalam bahasa Persianya Hujjat), dai senior. Kata jazirah ‘pulau’, digunakan untuk menunnjukkan teritorial atau yurisdiksi etnik yang diketuai oleh seorang dai (Bernard Lewis, 1967: 49). Gambaran yang dideskripsikan oleh Lewis di atas sangat menarik, karena hal seperti ini pula sebenarnya yang memacu seseorang untuk melaksanakan jihad fi sabilillah dengan mengangkat pedang. Penjelasan mengenai surga —seperti yang dipaparkan dalam al-Qur’an— yang di dalamnya terdapat sungai anggur, madu, dan susu, perempuan-perempuan cantik, serta kebun-kebun yang belum pernah dilihat di mata disuguhkan secara konkrit oleh sang mahaguru, sehingga pemuda yang disiapkan menjadi hasyasyin benar-benar percaya dan tidak memiliki alasan untuk tidak percaya bahwa itulah surga. Dan memang pada masa perang salib, hal ini memberikan kesan yang mendalam mengenai taktik dan strategi hasyasyin dalam meneror dan membunuh target-target yang menjadi korbannya. Dan tidak itu saja, Lewis mensinyalir bahwa hasyasyin juga sering disewa oleh orang-orang Barat untuk membunuh musuh-musuhnya. Dalam setiap pembunuhan yang mereka lakukan, baik di persia maupun di Syiria, para Hasyasyin selalu menggunakan belati; tidak pernah memakai racun atau peluru meskipun dalam banyak kesempatan hal itu akan membuat pembunuhan menjadi lebih mudah dan lebih aman. Menurut Lewis, seorang Hasyasyin hampir pasti selalu tertangkap, dan biasanya mereka memang tidak berusaha melarikan diri; bahkan ada anggapan bahwa selamat setelah melaksanakan tugas merupakan suatu hal yang memalukan. Seorang pengarang Barat abad XII mengatakan: “ketika kemudian ada beberapa orang di antara mereka yang memilih mati dengan cara ini… dia sendiri (baca: sang ketua) akan memberi mereka pisau yang menurutnya memang disiapkan untuk itu…”(Bernard Lewis, 1967: 47). Hal ini dikarenakan sang hasyasyin benar-benar mengharapkan surga. Sisa-sisa Hasyasyin Saat Ini (Abad XIX-XX) Lewis dalam buku Assassins mengungkapkan bahwa pada 1833, dalam Journal of The Royal Geographical Society, seorang pegawai British yang dikenal dengan Colonel W. Monteith dalam perjalanannya telah sampai pada pintu masuk lembah Alamut, tetapi belum benar-benar sampai atau mengenali istana tersebut. Lebih jauh dia menuliskan bahwa hal ini kemudian berhasil dilakukan oleh seorang saudara W. Monteith, Lieutenant Colonel (sir) Justin Sheil, yang laporannya diterbitkan pada jurnal yang sama tahun 1838. Seorang pegawai British yang ketiga yang bernama Stewart mengunjungi istana tersebut beberapa tahun kemudian. Setelah itu, baru satu abad kemudian penelitian mengenai Alamut dimulai lagi. Data ini kemudian Lewis perkuat dengan mengatakan bahwa, pada 1811, Rousseau, konsul dari Aleppo, dalam sebuah perjalanan ke Persia menyelidiki pengikut Ismailiyah dan kaget saat mengetahui bahwa di kota tersebut masih banyak yang masih setia pada seorang imam yang bergaris keturunan Ismail. Nama imam tersebut adalah Shah Khalilullah, ia tinggal di sebuah desa yang bernama Kehk, dekat Qumm, yang terletak diantara Tehran dan Isfahan. Menurut Rousseau, Shah Khalilullah hampir dianggap sebagai tuhan oleh para pengikutnya, dan dianggap memiliki mu’jizat, dan mereka terus menerus mempersembahkan harta kekayaan dari harta benda milik mereka dan seringkali mereka menjulukinya sebagai khalifah. Bahkan banyak pengikut Ismailiyah yang berada di India, mereka secara reguler datang ke Kehk melalui pinggiran sungai Gangga dan Indus untuk menerima berkah dari imam mereka, sebagai balasan kebaikan dan sumbangan mereka (Bernard Lewis, 1967: 14). Pada tahun 1825 seorang pelancong Inggris, J.B. Fraser mengkonfirmasikan keberadaan pengikut Ismailiyah di Persia dan ketaatan mereka kepada para pemimpinnya, meski mereka tidak lagi mempraktekkan pembunuhan dengan perintah para pemimpinnya; namun hingga saat ini Shah atau pemimpin sekte tersebut dipuja secara membabi buta oleh para pengikutnya yang masih tersisa, meskipun kegiatannya benar-benar sudah berbeda dengan karakter sekte pada awalnya. Ada juga beberapa pengikut sekte ini yang bertempat tinggal di India, yang masih setia pada pemimpinnya. Pemimpin yang dahulu, Shah Khalilullah telah terbunuh di Yazd beberapa tahun sebelumnya (tahun 1817), oleh para pemberontak yang melawan gubernur. Dia kemudian digantikan –dalam kapasitas keagamaannya— oleh salah seorang anaknya yang mendapatkan penghormatan serupa dari sekte tersebut. Lebih jauh, Lewis mengungkapkan bahwa pada Desember 1850 sebuah kasus pembunuhan yang besar disidangkan pada pengadilan kriminal di Bombay empat orang tergeletak dan terbunuh di jalan pada siang hari bolong, yang merupakan akibat adanya perbedaan pendapat dalam komunitas keagamaan tempat mereka berada. Sembilan belas orang diadili dan empat dari mereka divonis mati dan digantung. Para korban serta para penyerangnya dikenal sebagai orang-orang Khoja; sebuah komunitas kecil, kebanyakan terdiri dari pedagang di daerah Bombay dan beberapa bagian lain di India. Kejadian tersebut dipicu oleh sebuah perselisihan yang telah berlangsung selama dua puluh tahun lebih. Kejadian tersebut dimulai pada 1827, ketika sebuah kelompok Khoja menolak untuk membayar Upeti kepada pemimpin sekte mereka yang tinggal di Persia. Pemimpin tersebut adalah putera dari Shah Khalilullah, yang menggantikan ayahnya yang terbunuh pada 1817. Pada 1818 Syah Persia menunjuknya menjadi gubernur Mahallat dan Qumm, dan memberinya gelar Aga Khan. Dengan gelar inilah dia beserta keturunannya dikenal secara luas. Menghadapi penolakan tiba-tiba yang dilakukan oleh para pengikutnya di India untuk membayar kewajiban-kewajiban keagamaan mereka, Aga Khan mengirimkan utusan khusus dari Persia ke Bombay agar mereka kembali ke dalam kelompok. Turut serta dalam utusan tersebut nenek Aga Khan yang akan berpidato pada para pengikut Khoja di Bombay untuk memperoleh kembali kesetiaan mereka. Mayoritas komunitas Khoja masih setia kepada pemimpin mereka, tetapi ada sekelompok kecil yang masih tetap bersikukuh pada sikap menentang dan menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai kewajiban untuk patuh terhadap Aga Khan dan tidak mengakui bahwa komunitas Khoja masih terikat dengannya. Dampak konflik tersebut melahirkan ketegangan dalam komunitas Khoja dan berpuncak dengan pembunuhan di tahun 1850. Pada saat itu Aga Khan sendiri telah meninggalkan Persia, karena dia tidak berhasil memimpin sebuah pemberontakan melawan Shah, dan setelah tinggal sebentar di Afghanistan, ia kemudian berlindung di India. Jasanya kepada kepada orang-orang Inggris di Afghanistan dan Sind membuatnya memperoleh terima kasih dari mereka. Setelah pada awalnya tinggal di Sind dan kemudian di Calcuta, dia akhirnya tinggal di Bombay dimana dia mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin komunitas Khoja. Kendati demikian ada beberapa orang yang tidak setuju yang kemudian menentangnya, orang-orang tersebut menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengalahkannya. Setelah mengadakan persiapan, pada bulan april 1866, kelompok penentang itu mengajukan berkas-berkas tuntutan perkara kepada pengadilan tinggi di Bombay, dengan tuntutan agar Aga Khan dilarang melakukan intervensi terhadap urusan-urusan serta hak milik komunitas Khoja. Masalah ini ditangani oleh Hakim Ketua Sir Joseph Arnould. Hearing berlangsung selama 25 hari, dan melibatkan hampir seluruh elemen pengadilan. Kedua kelompok mengajukan argumentasi-argumentasi serta berkas-berkas perkara, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh pengadilan cukup luas dan mendalam, baik dalam aspek sejarah, garis keturunan, teologi dan hukum. Aga Khan sendiri memberikan kesaksian dan mengemukakan bukti-bukti tentang keturunannya. Pada tanggal 12 November 1866 Sir Joseph Arnould menyampaikan keputusan. Komunitas Khoja Bombay, menurutnya, merupakan bagian dari komunitas besar Khoja di India yang ajarannya berasal dari Ismailiyah yang merupakan cabang dari Syiah; mereka adalah sebuah sekte yang para leluhurnya berasal dari Hindu, yang telah berpindah keyakinan ke dalam kepercayaan Syiah Ismailiyah; serta selalu dan masih terikat hubungan kesetiaan spiritual terhadap para imam Ismailiyah. Mereka telah dijadikan pengikut pada 400 tahun yang lalu oleh dai-dai Ismailiyah dari Persia, dan tetap berada di bawah pengaruh otoritas spiritual imam-imam Ismailiyah, yang imam terakhirnya adalah Aga Khan. Para imam tersebut keturunan dari para raja Alamut, dan melalui mereka, menjadi keturunan Khalifah Fathimiyah di Mesir, dan akhirnya keturunan Nabi SAW. Pengikut mereka pada abad pertengahan terkenal dengan nama Hasyasyi. Keputusan Arnould juga menimbulkan perhatian terhadap eksistensi komunitas Ismailiyah di daerah-daerah lain di seluruh dunia, orang-orang yang sebenarnya tidak mengakui Aga Khan sebagai pemimpin mereka. Kelompok-kelompok ini biasanya merupakan kelompok minoritas, berada di daerah terpencil dan terisolasi, sulit dicapai dari manapun, suka menyembunyikan pudarnya kepercayaan dan hilangnya karya-karya tulis mereka. Beberapa tulisan dalam bentuk manuskrip sampai ke tangan para sarjana. Pada awalnya kesemuanya datang dari Syiria –wilayah pertama yang menjadi pusat perhatian orang-orang Barat modern untuk menyelidiki Ismailiyah, baik pada era modern maupun pada abad pertengahan. Yang lain kemudian menyusul, dari berbagai wilayah yang berbeda-beda. Pada tahun 1903, seorang pedagang Italia, Caproti, membawa sekitar 60-an manuskrip Arab dari San’a, di Yaman, yang menjadi kumpulan buku pertama yang disimpan di perpustakaan Ambrosiana, di Milan. Dalam pemeriksaan, mereka juga mengerjakan karya-karya yang berisi doktrin-doktrin Ismailiyah, yang berasal dari pengikut-pengikut Ismailiyah yang masih hidup di Arab bagian selatan. Di antara buku-buku tersebut, ada yang berisi sandi-sandi rahasia. Ketika di Eropa sudah tidak ada sumber-sumber baru lagi, para Sarjana Russia, yang telah menerima beberapa manuskrip sekte Ismailiyah dari Syiria, menemukan bahwa di negara mereka juga ada pengikut Ismailiyah yang tinggal di perbatasan kerajaan mereka, dan pada tahun 1902 Count Alexis Bibrinskoy menerbitkan sebuah laporan tentang pengorganisasian dan penyebaran orang-orang Ismailiyah di Russia, Asia Tengah. Pada waktu yang sama seorang pegawai kolonial A. Polostsev memperoleh salinan sebuah buku keagamaan sekte Ismailiyah yang ditulis dalam bahasa Persia. Buku tersebut ditempatkan pada museum Asiatic milik Russian Academy of the Scientist. Salinan lainnya menyusul, dan antara 1914 dan 1918 museum tersebut mendapatkan sebuah koleksi manuskrip Ismailiyah yang dibawa dari Shugnan -yang terletak diatas sungai Oxus- oleh dua orientalis I.I. Zarubin dan A.A. Semyonov. Dengan manuskrip-manuskrip ini serta manuskrip-manuskrip yang didapatkan setelahnya, para sarjana Russian mampu menyelidiki literatur keagamaan dan kepercayaan sekte Ismailiyah Pamir dan beberapa distrik yang berbatasan dengan Afghanistan di Badakhsan. Mengenali Karakter Hasyasyin Di beberapa negara Islam, kasus adanya bom bunuh diri merupakan satu hal yang tidak aneh dan tidak mengejutkan. Biasanya bom bunuh diri baik dibawa sendiri ataupun diledakkan sendiri dari dalam mobil, merupakan karakter khas dari orang-orang yang merasa dirinya kalah dan kehilangan akal dalam menghadapi musuhnya. Pada saat ini, hal seperti ini banyak dilakukan kelompok ekstrim Islam kepada Barat (yang menurut mereka adalah kafir yang harus diperangi). Jika dianalogkan dengan hasyasyin, berarti kejadian pemboman ini tidak berasal dari ruang hampa. Karena hasyasyin pun juga tidak mau melarikan diri setelah targetnya berhasil dibunuh, bahkan jika disuruh sang guru pun dia akan membunuh dirinya sendiri, bahkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bila target musuhnya sudah terbunuh dan misinya tercapai, si hasyasyin tidak melarikan diri, mereka siap dan surga sudah ada di depan mereka (satu kepercayaan yang sama sekali tidak dapat dipahami pada saat ini—bagaimana membunuh orang bisa dikatakan masuk surga. Hal yang sama pula dengan yang dilakukan oleh para pembajak dua pesawat yang ditabrakkan pada gedung WTC AS pada 2001. Tidak hanya ke Barat saja, di dalam Islam sendiri pun juga sering terjadi bom bunuh diri, misalnya di Irak ataupun Iran, dimana targetnya adalah orang Islam sendiri namun berbeda pandangan dengan si pembawa bom bunuh diri. Hal ini paling tidak menunjuk pada adanya analogi hasyasyin pada masa lalu dengan masa sekarang, hanya saja peralatan dan modusnya saja yang berbeda bentuk. Dalam kasus ini, penelitian Lewis dalam buku The Assassins menemukan relevansinya, sehingga kemudian tak heran jika dia menjadi salah satu staf Ahli militer Bush dalam penyerangan ke Irak demi menghancurkan al-Qaeda yang dianggap organisasi teroris. Karena di samping dianggap kompeten dalam masalah ini, dia juga pakar masalah Middle East. Peran Rahasia Assassins Pada masa Perang Salib Penulisan sejarah tentang Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang peranan kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari kelompok Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syiah di bawah Dinasti Fathimiyah. Konon, Hashyashyin ini merupakan “guru” dari Knights Templar yang dibentuk oleh Ordo Sion di tahun 1118 Masehi. Keduanya—Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak kemiripan. Mulai dari struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid’ah) dan bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta keterampilan dalam hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan warna mistis-paganistik. Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap Sekte Syiah Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins—sebagai kelompok Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama Hamdan al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan kebatinan, mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present, 2002). Templar sendiri sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya. Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan dugaan ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guu Besar Studi Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu Paus Clement V di tahun 1307 M. Profesor Hillenbrand dalam bukunya “The Crusade, Islamic Perspective” (1999) menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama yang dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099 dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni. Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah. Atas kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari para sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand. Salah satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal International Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama berselang setelah Konsili Clermont usai. Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut Hillenbrand bisa dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni. Namun yang terjadi tidak demikian. “Tentara Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya. Lantas di mana peranan Assassins dalam hal ini? Peran Tersembunyi Assassins Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun kekuatannya. Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir. Carole Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak 1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh (belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ” Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M sebagai “Tahun Kematian”. Apalagi dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal. Rentetan perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand disamakan dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia yang penuh kekacauan dan anarki. Hillenbrand mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?” Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik, seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem. Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus pada ajaran Kabbalah. Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja: Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen ? Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah menerima terror dari Assassins. Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam tendanya dan menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan tulisan, “Anda berada dalam kekuasaan kami. ” Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti kemudian, setelah membebaskan Yerusalem, Salahudin terus melakukan pembebasan hingga ke Benteng Alamut, markas besar Assassins di Persia, sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan pembersihan terhadap sekte Syiah. Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins” berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di wilayah Persia. Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis: “…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman. Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan. Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya. “Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya. Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin. Old Man of the Mountain Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini. Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul “The Valley of the Assassins”. Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam. “Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159). Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi. Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang. Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61) Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT. Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak. Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih hidup. Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran Kabbalah. Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama Samiri. Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins). Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya. “Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya. The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan. Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah. Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya. Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam. Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai. Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut. Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa. Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur. Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut. Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak. Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah. Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar wilayah tersebut. Catatan Yang Hilang Sampai hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya). Carolle Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya terdapat kerjasama yang unik. Keduanya memiliki kemiripan di dalam memahami kitab suci agamanya masing-masing. Baik Templar maupun Assassins dituduh telah melakukan heresy atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab sucinya lebih dari sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun mirip. Daftar Pustaka : Rizki Ridyasmara: khai79.blogspot.com Ajid Thahir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Bosworth, The Islamic Dynasties, terjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993. Bernard Lewis, The Assassins: Radical Sect In Islam, London: Al Saqi Books. 1967. Edward Burman, The Assassins: Holy Killers of Islam, Ed. Crucible, Wellingborough, 1987, Edward W. Said, Orientalism, New York: Vintage Books, 1978. Michel Foucault, Power/Knowledge, New York: Pantheon Books, 1980. Philip K. Hitti, The History of Arabs, Jakarta: Serambi, 2010 Knights Templar Valley Assasin Syiah Kaum Druze, kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah. Crusade Knights Templar Logo

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel